29 Januari 2010

Q.S. Al-Alaq ( 96 ) Ayat 1-5

BAB I
PENDAHULUAN

Al-Qur’an merupakan kitab yang keotentikannya dijamin oleh Allah SWT dan akan tetap terpelihara. Kandungan Al-Qur’an mendidik umat manusia untuk menjadi lebih baik. Jika ayat-ayat Al-Qur’an digali dan ditafsirkan dengan luas, maka di dalamnya sarat dengan pesan-pesan bernuansa edukatif yang bias dijadikan pedoman hidup bagi umat manusia.
Ilmu Pendidikan islam idealnya dibangun melalui konseptualisasi dan teoritisasi nilai-nilai Al-Qur’an dan Hadits . Nilai-nilai dasar Al-Qur’an mencakup segala aspek kehidupan manusia secara utuh dan komprehensif, termasuk dalam bidang pendidikan. Tema-tema pokoknya meliputi aspek ketuhanan, manusia sebagai individu dan social, alam semesta, kenabian, wahyu, dan makhluk-makhluk spirituan. Eksistensi, orisinalitas dan kebenarannya dapat dibuktikan oleh sains modern. Sedang tuntunannya adalh rahmat bagi semesta alam, dan tujuannya adalah kebahagiaan dunia dan akherat.

BAB II
PEMBAHASAN

1. Falsafah Dasar “Iqra” ( Membaca )
Al-Qur’an Memerintahkan kepada umat islam untuk belajar, sejak ayat pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Allah berfirman :



Artinya :
“ Bacalah dengan ( menyebut ) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar ( manusia ) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. ( QS. Al-‘Alaq ( 96 ) : 1 – 5 )
Perintah untuk membaca dalam ayat ini disebut dua kali. Perintah pertama ditujukan kepada Rasulullah SAW, dan perintah kedua ditujukan kepada seluruh umatnya. Mungkin mengherankan bahawa perintah tersebut ditujukan pertama kali kepada seorang yang tidak pernah membaca suatu kitab sebelum turunnya Al-Qur’an. Namun keheranan ini akan sirna jika disadari arti iqra’ dan disadari pula bahwa perintah ini tidak hanya ditujukan kepada pribadi Nabi Muhammad SAW semata, tetapi juga untuk umat manusia sepanjang sejarah manusia. Karena realitas perintah tersebut merupakan kunci pembuka jalan kebahagiaan kehidupan duniawi dan ukhrawi.
Kata iqra’ yang terambil dari kata qara’a pada mulanya berarti “ menghimpun “. Dalam bahasa Al-Qur’an, qara’tahu qiraatan. Arti asal kata ini menunjukkan bahwa iqra’, yang diterjemahkan dengan “ bacalah “ tidak mengharuskan adanya suatu teks tertulis yang dibaca, tidak pula harus diucapkan hingga terdengar oleh orang lain. Karenanya terdapat beraneka ragam arti dari kata tersebut antara lain : menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-ciri dan sebagainya.Yang kesemuanya dapat dikembalikan kepada hakikat “ menghimpun “ yang merupakan arti akar kata tersebut ( iqra’ ).
Iqra’ ! , demikian perintah Allah yang disampaikan oleh Jibril. Tetapi apa yang harus dibaca ? demikian pertanyaan Nabi dalam suatu riwayat. Setelah berulang-ulang Jibril menyampaikan QS. Al-‘Alaq : 1-5 tersebut sambil merangkul Nabi.
Dari redaksi wahyu pertama ini tidak ditemukan penjelasan tentang objek membaca, sehingga banyak ragam pendapat para ahli tafsir dalam menentukan objek membaca.
2. Perintah Belajar dengan Membaca
Membaca adalah sarana untuk belajar dan kunci ilmu pengetahuan, baik secara etimologi berupa membaca huruf-huruf yang tertulis dalam buku-buku maupun terminologi yakni membaca dalam artian yang luas. Maksudnya, membaca alam semesta ( ayat kauniyah ). Seperti diungkapkan dalam sebuah syair,


Bacalah isyarat alam semesta yang diciptakan untukmu.
Niscaya akan kamu dapatkan sesungguhnya selain Allah adalah batil.

Perintah membaca, menelaah, memeliti dan sebagainya dikaitkan dengan “ bi ismi Rabbika “ ( dengan nama Tuhanmu “ ). Pengaitan ini merupakan syarat yang mesti dipenuhi bagi pembaca untuk tidak sekedar melakukan bacaan dengan ikhlas, tetapi harus memilah dan memilih bahan-bahan bacaan yang tidak mengantarkannya kepada hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah.
Perintah membaca kedua dirangkaikan dengan “ warobbuka al-akram “. Ayat ini memberikan dorongan kepada manusia untuk selalu meningkatkan minat baca. Dalam hal ini mengandung pengertian bahwa Dia ( Allah ) dapat menganugerahkan puncak dari segala yang terpuji bagi semua hamba-Nya yang membaca. Allah menjanjikan kepada setiap orang yang membaca dengan tidak melupakan asma Allah dengan keluasan ilmu pengetahuan, pemahaman-pemahaman, wawasan-wawasan baru walaupun yang dibaca hanya itu-itu saja.
Apa yang dijanjikan ini telah terbukti secara jelas dalam membaca ayat Al-Qur’an. Yaitu dengan adanya penafsiran-penafsiran baru atau pengembangan berbagai pendapat dari yang telah ditelaah sebelumnya. Hal ini terbukti pula dengan sangat jelasnya dalam “ Pembacaan “ alam raya ini, dengan bermunculannya penemuan-penemuan baru yang membuka rahasia-rahasia jagat raya.
Selanjutnya terdapat “ kalam “ disebut dalam ayat ini lebih memperjelas makna hakiki membaca yaitu sebagai alat belajar. Dengan belajar sesorang mendapatkan ilmu. Dengannya pula ilmu dapat ditransfer dari individu ke individu, dari generasi ke generasi atau dari umat ke umat lainnya.
3. Hal-hal yang Perlu Diperhatikan dalam Belajar.
a. Sarana Mencari Ilmu.
Telah kita ketahui bersama bahwa mencari ilmu hukumnya wajib dan berbekal, menyediakan sarana dan prasarana dalam mencarinya juga menjadi wajib.
Ada tiga syarat pokok dalam mencari ilmu sebagaimana disebutkan dalam ayat Al-Qur’an, yaitu sebagai berikut :
1) As-sam’u, yakni pendengaran, merupakan asas ilmu dan pertamakali sarana pada masa penurunan wahyu, penyampaian ilmu ( ayat ) kepada para sahabat, hingga pada zaman kita sekarang.
2) Al-bashar. Yakni penglihatan, adalah asas ilmu pengetahuan yang sangat dibutuhkan untuk mengamati, meneliti sesuatu dan mencobanya.
3) Al-fuad / qolbu, yakni hati. Sarana ini adalah paling penting yang harus dimiliki oleh pencari ilmu.
b. Mendatangi Sumber Ilmu
Salah satu cara belajar adalah menghadap kepada guru dengan jalan mendengar dan menirukan serta hadir di majelisnya. Berkaitan dengan ini Al-Qur’an mengatakan bahwa jangan sampai suatu kaum itu pergi ke medan perang semua, tetapi harus ada yang ditinggal untuk mencari ilmu dan memperdalamnya serta mengamalkannya dengan jalan mengajarkan kepada orang lain.
Dalam hal ini para salafus shalih mensyaratkan dalam mencari ilmu hendaklah mendatangi para ulama dan hadir dalam majelis-majelis ilmu. Tidak cukup hanya dengan membaca buku-buku tanpa menghadap langsung. Karena apabila ada kesalahpahaman para ulama bisa menerangkan dan meluruskannya. Para salafus shaleh dalam proses belajarnya selalu berupaya untuk menambah ilmu. Mereka tidak pernah berhenti walaupun tingkat keilmuannya dimata umum telah mencapai titik teratas dan mereka telah memasuki usia senja. Bahkan semakin bertambah ilmu yang diraih semakin besar keinginan mereka untuk meraih lebih banyak lagi. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda :

Artinya :
Dua tipe manusia yang tidak akan menemukan kepuasan : pencari ilmu dan pencari dunia “.
Imam Syafi’I menulis syair berikut :


Semakin terdidik oleh zaman semakin terlihat kurangnya akal pikiranku.
Dan merasa bertambahnya pengetahuanku semakin kuketahui kebodohanku.
Apabila dalam mempelajari ilmu ada suatu pertanyaan maka harus ditanyakan kepada pakarnya agar tidak terjadi kesalahan pemahaman. Kita tidak boleh membiarkan suatu permasalahan tanpa penyelesaian, apalagi yang berkenaan dengan kemaslahatan orang banyak.

c. Niat Belajar Hanya Karena Allah
Dalam menuntut ilmu semestinya diniatkan hanya mengharapkan Ridho Allah semata. Pada dasarnya Allah Yang Memiliki Ilmu dan akan menganugerahkan kepada siapapun yang dikehendaki-Nya. Karena tujuan ilmu itu sendiri adalah untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan untuk mencapai kebahagiaan di dunia maupun di akherat. Dalam sebuah hadits dinyatakan :


Artinya :
Dari Ibnu Umar , Rasulullah SAW bersabda : “ Barangsiapa belajar sebuah ilmu untuk selain Allah atau ingin bertujuan selain Allah maka bersiaplah ditempatkan di neraka ".
Dengan niat karena Allah, perjalanan kita dalam menuntut ilmu akan terhitung sebagai amal ibadah. Ini sesuai dengan sabda Nabi SAW yang menyatakan :


Artinya :
“ Barang siapa keluar untuk mencari ilmu maka ia berada di jalan Allah sampai ia kembali “.
d. Hormat dan Ta’dhim kepada Guru.
Sebagaimana dikisahkan tentang Nabi Musa yang belajar kepada Nabi Khidir, terdapat adab seorang murid ( pencari ilmu ) terhadap gurunya. Walaupun Nabi Musa lebih tinggi derajatnya daripada Nabi Khidir tetapi beliau tetap hormat dan ta’dhim, hingga akhirnya Nabi Musa mendapatkan ilmu yang dicarinya.
4. Peradaban Makhluk Membaca.
Perintah membaca merupakan perintah yang paling berharga yang diberikan kepada umat manusia. Karena membaca merupakan jalan yang mengantarkan manusia mencapai derajat kesempurnaan. Sehingga tidak berlebihan bila dikatakan bahwa membaca adalah syarat utama guna membangun peradaban. Semakin luas kegiatan membaca semakin tinggi peradaban.
Manusia disamping sebagai abdillah juga sebagai khalifah fil ardh. Kedua fungsi tersebut adalah konsekuensi dari potensi keilmuan yang dianugerahkan Allah kepada manusia, sekaligus sebagai persyaratan mutlak bagi kesempurnaan pelaksanaan kedua status tersebut.
Dengan ilmu yang diajarkan oleh Allah, manusia memiliki kelebihan dari malaikat. Dengan ibadah yang didasari dengan ilmu yang benar, manusia menduduki tempat terhormat, sejajar bahkan dapat melebihi kedudukan umumnya malaikat.
Demikianlah perintah iqra’ sebagai syarat pertama dan utama bagi keberhasilan manusia dalam menciptakan peradaban yang lebih baik. Serta sebagai sarana mencapai tujuan hidup manusia, yaitu kebahagian di dunia dan di akherat.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1) Perintah untuk membaca dalam QS. Al-‘Alaq ( 96 ) : 1 – 5 ini disebut dua kali. Perintah pertama ditujukan kepada Rasulullah SAW, dan perintah kedua ditujukan kepada seluruh umatnya.
2) Arti asal kata iqra’ yang diterjemahkan dengan “ bacalah “ tidak mengharuskan adanya suatu teks tertulis yang dibaca, tidak pula harus diucapkan hingga terdengar oleh orang lain. Karenanya terdapat beraneka ragam arti dari kata tersebut antara lain : menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami,meneliti, mengetahui ciri-ciri dan sebagainya.
3) Membaca adalah sarana untuk belajar dan kunci ilmu pengetahuan
4) Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam belajar adalah :
a). Menyediakan sarana mencari ilmu.
b). Mendatangi sumber ilmu
c). Niat belajar karena Allah
d). Hormat dan ta’dhim kepada guru
5) Perintah iqra’ sebagai syarat pertama dan utama bagi keberhasilan manusia dalam menciptakan peradaban yang lebih baik. Serta sebagai sarana mencapai tujuan hidup manusia, yaitu kebahagian di dunia dan di akherat.
DAFTAR PUSTAKA

v Dr. Rohimin, M.Ag., Tafsir Tarbawi, Nusa Media, Yogyakarta, cetakan I ; 2008.
v Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, Gema Insani Press, Jakarta, cetakan I; 1998
v M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an : Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, Mizan, Bandung, cetakan I; 2007
v H. Mahrus Ali, terjemah Irsyadul Ibad karya Zainuddin Ibnu Abdul Aziz Al Malybari, Mutiara Ilmu, Surabaya
v Hamka, Tafsir Al-Azhar, Pustaka Ilmu, Jakarta.
v Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya.

28 November 2009

Tasawuf dan Ma’rifat


1. Pengertian

“Ma’rifat” dalam bahasa berarti tahu atau kenal, ilmu atau pengetahuan, diambil dari bahasa Arab ‘arafa. Dalam artian umum, ilmu atau pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Dalam tasawuf, makrifat berarti mengetahui Allah SWT dari dekat, yaitu pengetahuan dengan hati sanubari

Dengan makrifat seorang sufi lewat hati sanubarinya, dapat melihat Tuhan Allah SWT. Para sufi mengatakan, “kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah SWT. Makrifat itu merupakan cermin. Jika seorang sufi melihat ke cermin, maka yang akan dilihatnya hanya Allah SWT. Yang dilihat orang arif sewaktu tidur maupun bangun hanya Allah SWT”.

Pengetahuan dalam bentuk makrifat merupakan pengetahuan yang langsung ada pada Allah SWT, yang dianugerahkan-Nya kepada mereka yang diberi kemampuan menerimanya. Makrifat merupakan cahaya yang memancar ke dalam hati, menguasai daya yang ada dalam diri manusia dengan sinarnya yang menyilaukan. Menurut para Sufi seperti yang dikemukakan oleh seoran sufi, Abu Bakar Al Kalabazi, bahwa Allah SWT lah yang membuat manusia mengenal diri-Nya. (Ensiklopedi Islam 3, 1994 :130).

2. Hubungan Tasawuf dengan Ma’rifat.

Makrifat kadang-kadang dipandang sebagai makam dan terkadang dipandang sebagai haal. Antara makrifat dan mahabbah ada kesamaan dan ada perbedaan. Persamaannya keduanya menggambarkan keadaan dekatnya seorang sufi dengan Tuhan. Perbedaannya mahabbah menggambarkan hubungan dalam bentuk cinta, sedangkan makrifat menggambarkan hubungan dalam bentuk pengetahuan dengan hati sanubari.
Sabda Rasulullah SAW,

Artinya : Siapa yang mengenal dirinya, sesungguhnya dia dapat mengenal Tuhannya.

Zunnun Al-Mishry berkata,

Artinya : Aku kenal Tuhanku dengan Tuhanku juga, kalau tidak dengan Tuhanku aku tidak mengenal Tuhanku. (Al Qusyairi : 315).

Menurut Zunnun tokoh utama dan pencetus paham makrifat berpendapat, bahwa pengetahuan tentang Tuhan Allah itu terbagi tiga, yaitu pengetahuan orang awam, pengetahuan ulama dan pengetahuan orang arif.

Pengetahuan orang awam tentang Allah pada dasarnya adalah pengetahuan yang diterima dari ajaran agama tanpa memerlukan pembuktian melalui logika. Pengetahuan tentang Tuhan diperoleh dengan perantaraan ucapan dua kalimat syahadat.

Pengetahuan ulama mementingkan dalil dan logika. Baik pengetahuan orang awam maupun pengetahuan ulama tentang Allah disebut sebagai ilmu, bukan makrifat. Pengetahuan dalam bentuk makrifat menurut Zunnun, adalah pengetahuan tentang Allah di kalangan kaum sufi yang dapat melihat Allah dengan hati sanubarinya. Makrifat ini adalah anugerah Allah kepada kaum sufi yang telah dengan ikhlas beribadat dan sungguh-sungguh mencintai dan mengenal Allah. Dengan keikhlasan ibadat itulah, maka Allah menyingkapkan tabir (kasysyaf) dari pandangan sufi untuk dapat menerima cahaya yang dipancarkan oleh Allah SWT. Dalam keadaan demikian, sufi dapat melihat keindahan Allah yang abadi dan mengetahui keesaan-Nya.

Dalam tasawuf terdapat komunikasi dua arah. Di satu pihak sufi berusaha keras mendekatkan diri dari bawah, sedangkan di lain pihak Allah dari atas menurunkan rahmat-Nya. Ketika berlangsung komunikasi dua arah dalam bentuk makrifat, pengaruh akal dan penglihatan mata hilang, karena yang disaksikan seorang sufi hanyalah yang hakiki yaitu Allah melalui hati sanubari.

Al Qusyayri mengatakan ada tiga alat dalam tubuh manusia yang digunakan sufi untuk berhubungan dengan Allah SWT.

a. Qalbu (Qalb, the heart) untuk mengetahui sifat Tuhan.

b. Roh (Ruh, the spirit) untuk mencintai Tuhan.

c. Sir (Sirr, hati sanubari, inmost ground of the soul) untuk melihat Tuhan.
Dari ketiga alat tersebut, Sir merupakan alat yang peka dan lebih halus dari roh apalagi kalbu. Sir merupakan alat yang digunakan oleh sufi untuk memperoleh makrifat. Oleh sebab sir bertempat pada roh dan roh bertempat pada kalbu, maka sir timbul serta dapat menerima makrifat dari Allah SWT, di kala roh dan kalbu telah suci dan kosong dari segala sesuatu yang dapat mengganggunya. Tibalah saatnya bagi sufi ketika itu menangkap cahaya Tuhan yang diturunkannya. Kalbu tak ubahnya sebagai kaca, jika senantiasa bersih akan mempunyai daya tangkap sir yang benar, untuk memperoleh cahaya cemerlang yang dipancarkan Allah SWT. Apabila cahaya cemerlang itu diperoleh, di kala itulah sufi bertemu dengan zat maha tinggi. Pertemuan dengan Allah, itulah puncak kebahagiaan.

Walaupun makrifat dapat menyingkapkan rahasia-rahasia Allah kepada seorang sufi, namun makrifat yang penuh tidak mungkin dapat dicapai oleh manusia, lantaran keterbatasan manusia itu sendiri, disamping kemutlakan Allah SWT. Al Junaid mengatakan dalam hal ini, “Cangkir teh tak akan bisa menampung semua air yang ada di laut”. Pernyataan ini menunjukkan bahwa meskipun seorang sufi berusaha secara kontinyu untuk memeproleh makrifat, tidak mungkin ia memperolehnya dalam arti yang penuh dan sempurna, sehingga semua rahasia hakikat ketuhanan dapat diketahuinya.
Setelah makrifat itu dicapai, tujuan dan pengaruhnya dapat diterapkan dalam kehidupan. Zunnun mengatakan bahwa makrifat mempunyai jangkauan atau tujuan moral yakni nilai kemanusiaan seoptimalnya yang harus berhiaskan akhlak Allah SWT

Pergaulan orang arif bila telah sampai ke tingkat ini bagaikan pergaulan dengan Allah SWT. Siti Aisyah waktu ditanya tentang akhlak Rasulullah menjawab bahwa akhlak Rasulullah adalah Al Qur’an. Menurut Zunnun ada tiga tanda orang arif :


a. Cahaya makrifatnya tidak memadamkan cahaya kerendahan hatinya.

b. Tidak mengakui secara batiniah, ilmu yang bertentangan dengan hukum lahiriah

(hukum syari’at)

d. Nikmat Allah SWT yang banyak itu tidak menggiringnya untuk melanggar larangan

Allah SWT.

Tanda-tanda tersebut pada hakikatnya mengacu kepada profil seorang sufi yang memiliki akhlak tinggi yaitu akhlak ilahiyah.

Paham makrifat yang dikemukakan Zunnun itu diterima oleh Al Ghazali, sehingga mendapat pengakuan di kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karena Al Ghazali adalah salah seorang figur yang sangat berpengaruh di kalangan mereka. Al Ghazali-lah yang membuat tasawuf menurut pola pikir tersebut menjadi halal dan dapat diterima oleh kaum syariat. Al Ghazali mengatakan, “Makrifat adalah mengetahui rahasia-rahasia Allah SWT dan mengetahui peraturan-peraturan-Nya tentang segala yang ada”. Al Ghazali mengatakan, “Alat seorang sufi mendapatkan makrifat adalah kalbu, bukan panca indera atau akal. Pengetahuan yang diperoleh kalbu lebih benar daripada pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Jalan untuk memperoleh kebenaran adalah tasawuf (makrifat dan bukan falsafah). Al Ghazali mengatakan makrifat juga berarti memandang kepada wajah Allah SWT.

Selanjut-nya dia mengemukakan bahwa makrifat mengandung tujuan moral, kebahagiaan, cinta kepada Allah SWT dan fana di dalamnya. Jalan yang ditempuh kaum sufi mengandung tujuan meningkatkan akhlak terpuji melalui latihan jiwa, dan juga bertujuan mengganti akhlak tercela menjadi akhlak yang terpuji. Dengan kata lain, tujuan makrifat menurut Al Ghazali sejalan dengan tujuan makrifat menurut Zunnun, yakni mengacu pada moral ilahiyah.

Untuk dapat ma’rifat kepada Allah, haruslah melalui mujahadah, perjuangan yang sungguh-sungguh dan terus menerus melaksanakan jalan menuju Allah itu.
Firman Allah SWT :

Artinya : Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridlaan) Kami sungguh akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami (Q.S. Al Ankabut 29 : 69).

Orang-orang yang berjalan menuju Allah, ibarat jarum-jarum menuju gumpalan besi berani. Getaran magnit besi berani itulah yang lebih berperan sesungguhnya untuk mendekat, dibandingkan usaha jarum itu sendiri.

Sabda Rasulullah SAW (Hadis Qudsi),

Artinya :

Aku sesuai dengan dugaan hamba-Ku kepada-Ku dan Aku bersama dengannya. Ketika dia ingat kepada-Ku di dalam hatinya, Aku pun ingat pula kepadanya di dalam hati-Ku, dan jika dia ingat kepada-Ku dalam lingkungan khalayak ramai, Aku pun ingat kepadanya pada khalayak yang lebih baik. Dan jika dia mendekat kepada-Ku sejengkal, maka aku pun mendekat pula kepadanya sehasta, dan jika dia mendekat kepada-Ku sehasta niscaya Aku mendekat kepadanya sedepa, dan jika dia datang kepada-Ku berjalan maka Aku mendatanginya sambil berlari. (H.R. Bukhari Muslim).

Setelah dekat bahkan lengket dengan besi berani, si jarum tidak sadarkan diri dan tidak berfungsi sama sekali. Dalam keadaan demikian si jarum tidak menjadi besi berani, begitu pula sebaliknya. Begitulah orang yang ‘arif billah menggambarkan keadaan orang yang fana’ fillah.
Prof. Dr. H. Kadirun Yahya mengatakan, perumpamaan orang arif yang sedang fana’ fillah, ibarat besi panas. Besi luluh dan lebur bersama api. Tidak dapat dibedakan mana yang besi mana yang api. Besi tidak panas, karenanya tidak membakar. Yang panas tetap api dan apilah yang membakar. Tapi karena begitu berhampirannya besi dengan api, sehingga tidak dapat dibedakan mana yang besi dan mana pula yang api. Walaupun demikian besi tidak akan jadi api dan sebaliknya. Begitu pulalah halnya orang ‘arif atau mursyid tidak akan jadi Allah dan sebaliknya. Yang memberi bekas – keramat misalnya – tetap Allah. Orang ‘arif atau mursyid menyalurkan wasilah, getaran, power tak terhingga ( ) yang langsung dari Allah SWT, melalui kekasih-Nya, wali-wali Allah, orang ‘arif, atau mursyid.

Prof. Dr. H. Saidi Syekh Kadirun Yahya menggambarkan hal yang sama, seperti strum listrik dengan kabel. Strum listrik bukan kabel dan sebaliknya. Strum tidak akan jadi kabel dan sebaliknya. Yang memberi bekas adalah tetap strum yang datang dan bersumber dari dinamo sentral listrik. Rumusan beliau ini berdasarkan firman afaki yang dikelola berdasarkan iptek dikonfirmasikan dengan firman kitabi, kemudian diaktualisasikan sehingga menjadi kenyataan melalui uji coba berpuluh-puluh tahun.

As Syekh Al Qusyayri memulai untuk menjelaskan tentang ma’rifah ini dengan mengemukakan Q.S. Al An’am 6 : 91.

Artinya

Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya, di kala mereka berkata: "Allah tidak menurunkan sesuatupun kepada manusia". Katakanlah: "Siapakah yang menurunkan Kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan Kitab itu lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai, kamu perlihatkan (sebahagiannya) dan kamu sembunyikan sebahagian besarnya, padahal Telah diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapak kamu tidak mengetahui(nya) ?" Katakanlah: "Allah-lah (yang menurunkannya)", Kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al Quran kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya[491].

[491] perkataan biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya adalah sebagai sindiran kepada mereka, seakan-akan mereka dipandang sebagai kanak-kanak yang belum berakal.

Dalam kitab-kitab tafsir tertulis ayat ini berarti, Artinya : Mereka tidak mengenal Allah sebagaimana seharusnya Dia dikenal.

Sabda Rasulullah SAW,

Artinya : Diriwayatkan oleh Aisyah r.a. bahwa Nabi bersabda “Landasan sebuah rumah adalah pondasinya. Landasan agama adalah pengenalan langsung terhadap Allah, keyakinan dan akal yang menjaga dari kekeliruan”. Aisyah bertanya semoga ayah dan ibuku menjadi tebusanmu, apakah akal yang menjaga dari kekeliruan itu ? Rasulullah menjawab : “Menahan diri dari ketidakpatuhan terhadap Allah dan bersemangat dalam mentaati-Nya”. (H.R. Ad Dailani)

Di kalangan sufi, ma’rifat adalah sifat dari orang yang mengenal Allah SWT dengan nama-nama serta sifat-sifat-Nya, dan berlaku tulus kepada Allah SWT dengan perbuatan-perbuatan-Nya, yang lalu mensucikan dirinya dari sifat-sifat yang rendah dengan segala cacatnya. Kemudian dia berdiri lama di depan pintu, kemudian dia senantiasa mengundurkan hatinya dari hal-hal duniawiyah yang rendah. Setelah itu dia menikmati kedekatan dengan Allah dengan segala keindahannya dan mengukuhkan ketulusannya dalam semua keadaan terhadap Allah. (Al Qusyayri : 311-312).

Dalam buku-buku tasawuf kita jumpai kalimat-kalimat yang terjalin menegaskan keeratan hubungan antara syariat, tarikat, hakikat dan makrifat itu. Sabda Rasulullah SAW yang maksudnya, “Syariat itu perkataanku, tarikat itu perbuatanku, dan hakikat itu ialah kelakuanku”.





07 April 2009

Adab Tidur


Kitab Kesopanan Tidur
Adab-adab Kesopanan Tidur Dan Berbaring
811. Dari al-Bara' bin 'Azib radhiallahu 'anhuma, katanya: "Rasulullah s.a.w. itu apabila menempatkan diri pada tempat tidurnya, maka beliau tidur atas belahan tubuhnya yang sebelah kanan, lalu mengucapkan - yang artinya:
"Ya Allah, saya menyerahkan jiwaku padaMu, saya hadapkan wajahku padaMu, saya aturkan urusanku padaMu, saya tempatkan punggungku padaMu. Demikian itu adalah karena kecintaan serta ketakutanku padaMu. Tiada tempat berdiam dan tiada pula tempat menyelamatkan diri daripadaMu, melainkan kepadaMu. Saya beriman kepada kitab yang Engkau turunkan serta kepada Nabi yang Engkau utus."

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dengan lafaz ini dalam kitab al-Adab dari kitab shahihnya.
812. Dari al-Bara' bin 'Azib r.a. pula, katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda kepadaku:
"jikalau engkau mendatangi tempat tidurmu, maka berwudhu'-lah dulu sebagaimana wudhu'mu untuk bersembahyang, kemudian berbaringiah pada belahan tubuhmu sebelah kanan dan ucapkan sebagaimana di atas-yakni yang meriwayatkan Hadis ini menyebutkan seperti yang tertera dalam Hadis 811 - dan di situ ditambah: Beliau s.a.w. bersabda: "Jadikanlah ucapan di atas itu sebagai kalimat-kalimat yang terakhir sekali engkau ucapkan -sebelum tidur itu." (Muttafaq 'alaih)
813. Dari Aisyah radhiallahu 'anha, katanya: "Nabi s.a.w. itu bersembahyang dari sebagian waktu malam sebanyak sebelas rakaat. Kemudian
apabila fajar telah menyingsing, beliau s.a.w. bersembahyang dua rakaat yang ringan sekali, kemudian beliau berbaring atas belahan tubuhnya yang sebelah kanan, sehingga juru azan .datang lalu ia memberitahukan pada beliau - tentang sudah berkumpulnya para manusia yang hendak bersembahyang subuh dengan berjamaah." (Muttafaq 'alaih)
814. Dari Hudzaifah r.a., katanya: "Nabi s.a.w. itu apabila mengambil tempat tidurnya di waktu malam, beliau meletakkan tangannya di bawah pipinya lalu mengucapkan - yang artinya: "Ya Allah, dengan namaMulah saya mati dan hidup," dan apabila beliau bangun, lalu mengucapkan - yang artinya: "Segenap puji bagi Allah yang memberikan kehidupan kepada kita sesudah mematikan kita dan kepadaNya tempat kembali." (Riwayat Bukhari)
815. Dari Ya'isy bin Tikhfah al-Ghifari radhiallahu 'anhuma, katanya: "Ayahku berkata: Pada suatu ketika saya berbaring dalam masjid atas perutku, tiba-tiba ada seorang lelaki yang menggerak-gerakkan saya dengan kakinya, lalu berkata: "Sesungguhnya cara tidur yang sedemikian ini adalah cara berbaring yang dibenci oleh Allah."
Ayahku berkata: "Kemudian saya melihat orang itu, tiba-tiba ia adalah Rasulullah s.a.w."
Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dengan isnad shahih.
816. Dari Abu Hurairah r.a. dari Rasulullah s.a.w., katanya: "Barangsiapa yang duduk di suatu tempat duduk dan ia tidak berzikir kepada Allah Ta'ala dalam duduknya itu, maka atas orang itu ada kekurangan dari Allah dan barangsiapa yang berbaring di suatu tempat pembaringan dan ia tidak berzikir kepada Allah Ta'ala dalam berbaringnya itu, maka atas orang itu ada kekurangan dari Allah."
Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dengan isnad hasan.
Attirah dengan kasrahnya (a' mutsannat di atas, artinya ialah kekurangan, ada yang mengatakan tuntutan karena penganiayaan.
.

Sunnahnya Bersikap Sedang — Sederhana

Sunnahnya Bersikap Sedang — Sederhana — Dalam
Pakaian Dan jangan Merasa Cukup Dengan Apa Yang Menyebabkan Celanya Yang Tidak Ada Kepentingan Atau Tidak Ada Tujuan Syara' Untuk Itu

Dari 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari nenek lelakinya r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Sesungguhnya Allah itu mencintai kalau melihat bekas ke-nikmatanNya atas hambaNya itu," dengan jalan menunjukkan keindahan dan kesempurnaannya dalam berpakaian, makan, berumahtangga dan Iain-Iain.
Diriwayatkan oleh Imam Termidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah Hadis hasan.

tafsir jalalain q.s. al-baqarah ayat 23-25


(Sekiranya kamu merasa ragu) atau bimbang (tentang apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami) maksudnya tentang Alquran yang Kami wahyukan kepada Muhammad, bahwa itu benar-benar dari Allah, (maka buatlah sebuah surah yang sebanding dengannya) dengan surah yang diwahyukan itu. 'Min mitslihi', min yang berarti dari, maksudnya di sini ialah untuk menjadi keterangan atau penjelasan, hingga artinya ialah yang sebanding dengannya, baik dalam kedalaman makna maupun dalam keindahan susunan kata serta pemberitaan tentang hal-hal gaib dan sebagainya. Yang dimaksud dengan 'surah' ialah suatu penggal perkataan yang mempunyai permulaan kesudahan dan sekurang-kurangnya terdiri dari tiga ayat. (Dan ajaklah saksi-saksimu) maksudnya tuhan-tuhanmu yang kamu sembah itu (selain dari Allah) untuk menjadi penolong-penolongmu, (jika kamu orang-orang yang benar) bahwa Alquran itu hanyalah buatan dan ucapan Muhammad belaka, maka cobalah lakukan demikian, bukankah kamu orang-orang yang berlidah fasih seperti Muhammad pula?

Tatkala mereka tidak mampu memenuhi permintaan itu, maka Allah swt. berfirman, (Dan jika kamu tidak dapat melakukan) apa yang disebutkan itu disebabkan kelemahan dan ketidakmampuanmu (dan kamu pasti tidak akan dapat melakukannya) demikian itu untuk selama-lamanya disebabkan terhalang mukjizat Alquran itu, (maka jagalah dirimu dari neraka) dengan jalan beriman kepada Allah dan meyakini bahwa Alquran itu bukanlah ucapan manusia (yang kayu apinya terdiri dari manusia), yakni orang-orang kafir (dan batu), misalnya yang dipakai untuk membuat patung-patung atau berhala-berhala mereka. Maksudnya api neraka itu amat panas dan tambah menyala dengan bahan bakar manusia dan batu jadi bukan seperti api dunia yang hanya dapat dinyalakan dengan kayu bakar atau yang lainnya (yang disediakan bagi orang-orang kafir) sebagai alat untuk menyiksa mereka. Kalimat belakang ini dapat menjadi kalimat baru atau menunjukkan keadaan yang lazim.

(Dan sampaikanlah berita gembira) kabarkanlah (kepada orang-orang yang beriman) yang membenarkan Allah (dan mengerjakan kebaikan), baik yang fardu atau yang sunah (bahwa bagi mereka disediakan surga-surga), yaitu taman-taman yang ada pepohonan dan tempat-tempat kediaman (yang mengalir di bawahnya) maksudnya di bawah kayu-kayuan dan mahligai-mahligainya (sungai-sungai) maksudnya air yang berada di sungai-sungai itu, karena sungai artinya ialah galian tempat mengalirnya air, sebab airlah yang telah menggali atau menjadikannya 'nahr' dan menisbatkan 'mengalir' pada selokan disebut 'majaz' atau simbolisme. (Setiap mereka diberi rezeki di dalam surga itu) maksudnya diberi makanan (berupa buah-buahan, mereka mengatakan, "Inilah yang pernah) maksudnya seperti inilah yang pernah (diberikan kepada kami dulu"), yakni sebelum masuk surga, karena buah-buahan itu seperti itu pula ciri masing-masingnya, hampir serupa. (Mereka disuguhi) atau dipetikkan buah itu (dalam keadaan serupa), yakni warnanya tetapi berbeda rasanya, (dan diberi istri-istri) berupa wanita-wanita cantik dan selainnya, (yang suci) suci dari haid dan dari kotoran lainnya, (dan mereka kekal di dalamnya) untuk selama-lamanya, hingga mereka tak pernah fana dan tidak pula dikeluarkan dari dalamnya.